Hukum Shalat Malam, Tata Cara Melakukan Shalat Malam
HUKUM SHALAT MALAM
Mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum shalat malam adalah sunnah mu’akkadah (yang sangat) ditekankan berdasarkan al-Qur-an, as-Sunnah dan ijma’ kaum muslimin.[1]
Dari ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu anhu menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang kepadanya dan kepada putri beliau, Fathimah, di malam hari, lalu beliau berkata, “Mengapa kalian tidak shalat?” Aku (‘Ali) berkata, “Wahai Rasulullah, jiwa kami ada di tangan Allah, jika Allah berkehendak membangunkan kami (untuk shalat) tentu kami akan bangun.” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu pergi ketika kami mengatakan begitu dan beliau sama sekali tidak membalas kami hingga kemudian aku mendengarnya mengatakan sambil memukul pahanya.
وَكَانَ اْلإِنسَانُ أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلاً
“Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah.” [Al-Kahfi: 54][2].
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat pada suatu malam di masjid lalu orang-orang bermakmum dengannya. Kemudian beliau shalat lagi pada malam berikutnya dan orang-orang yang shalat bersamanya bertambah banyak. Kemudian pada malam ketiga atau keempat orang-orang telah berkumpul, namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak keluar untuk shalat bersama mereka. Ketika di pagi hari beliau berkata, “Aku telah mengetahui apa yang kalian lakukan dan aku tidak keluar menemui kalian melainkan karena aku takut shalat ini akan diwajibkan atas kalian.” Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan.[3]
Berdasarkan kedua hadits ini dan hadits-hadits lainnya al-Bukhari membuat sebuah bab dengan judul “Tahriidhin Nabiy Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ala Qayaamil Laili min Ghairi Iijaab” (Dorongan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan shalat malam tanpa mewajibkannya.)
Ibnu Hajar berkata, “Ibnu al-Munir mengatakan, judul bab ini mengandung dua hal; dorongan (untuk melakukan shalat malam) dan tidak mewajibkannya.”[4]
Komentar saya, Pada mulanya shalat malam diwajibkan lalu hukum itu dihapuskan, (berikut penjelasannya):
Dari Sa’ad bin Hisyam Radhiyallahu anhu, ia bertanya kepada Ummul Mukminin ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Wahai Ummul Mukminin, ceritakanlah kepadaku tentang shalat malam yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Bukankah kamu telah membaca ayat ini,
يَآأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ
‘Wahai orang yang berselimut?‘”
Aku menjawab, “Ya.” ‘Aisyah berkata, “Sesungguhnya Allah telah mewajibkan shalat malam di awal surat ini, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Sahabatnya melakukannya selama setahun hingga telapak kaki mereka pecah-pecah. Akhir surat ini Allah tahan di atas langit selama dua belas bulan, lalu barulah Allah menurunkan keringanan di akhir surat ini, maka jadilah shalat malam tersebut shalat yang sunnah, untuk melengkapi shalat-shalat yang wajib.”[5]
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma menafsirkan firman Allah, (قُمِ الَّيْلَ إِلاَّ قَلِيلاً ) “Bangunlah untuk shalat di malam hari kecuali sedikit daripadanya” dengan mengatakan, “Allah memerintahkan Nabi-Nya dan kaum mukmin untuk melakukan shalat di malam hari kecuali sedikit daripadanya, lalu hal itu membuat berat mereka sehingga Allah meringankannya dan mengasihani mereka dengan menurunkan ayat,
عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُمْ مَّرْضَى
“Allah tahu bahwa di antara kalian ada orang-orang yang sedang sakit.”
Dengan turunnya ayat ini Allah telah membuat mereka merasa lapang dan tidak sempit. Masa di antara turunnya dua ayat itu adalah setahun, yakni antara ayat,
يَآأَيُّهَا الْمُـزَّمِّلُ قُـمِ الَّيْلَ
“Wahai orang yang berselimut, bangunlah untuk melakukan shalat di malam hari.”
Dan ayat
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Bacalah apa yang mudah bagimu” [6]hingga akhir surat.
Dalil-Dalil Lain yang Menunjukkan Bahwa Shalat Malam Adalah Sunnah.
Dari Ummu Salamah Radhiyallahu anhuma, ia menceritakan, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada suatu malam lalu beliau berkata:
سُبْحَانَ اللهِ مَاذَا أُنْزِلَ اللَّيْلَةَ مِنَ الْفِتْنَةِ، مَاذَا أُنْزِلَ مِنَ الْخَـزَائِنِ، مَنْ يُوْقِظُ صَوَاحِبَ الْحُجُرَاتِ، يَا رُبَّ كَاسِيَةٍ فِي الدُّنْيَا عَارِيَةٍ فِي اْلآخِرَةِ.
“Subhanallah, ujian apa yang Allah turunkan malam ini dan simpanan apa yang Dia turunkan bagi orang yang membangunkan wanita-wanita yang tengah tidur di kamarnya. Wahai kaum, banyak wanita-wanita yang berpakaian di dunia tetapi telanjang di akhirat.“[7]
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Tidak wajibnya melakukan shalat malam, diambil dari sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tidak mewajibkan para wanita tersebut melakukannya.”[8]
Dari Abu Umamah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ، فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ، وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ، وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ، مَنْهَاةٌ عَنِ اْلإِثْمِ.
“Lakukanlah shalat malam oleh kalian, karena hal itu merupakan kebiasaan orang-orang shalih sebelum kalian. Ia pun dapat mendekatkan kalian kepada Rabb kalian, menghapus segala kesalahan dan mencegah dari perbuatan dosa.”[9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia meriwayatkan sebuah hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang di antara sabdanya adalah:
تَعَلَّمُوْا الْقُرْآنَ، وَاقْرَأُوْهُ، وَإِنْ لَمْ تَقُوْمُوْا بِهِ، فَإِنَّ مَثَلَ الْقُرْآنِ لِمَنْ تَعَلَّمَهُ فَقَرَأَهُ وَقَامَ بِهِ كَمَثَلِ جَرَابٍ مَحْشُوٍّ مِسْكًا، يَفُوْحُ رِيْحُهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ، وَمَثَلُ مَنْ تَعَلَّمَهُ وَرَقَدَ وَهُوَ فِي جَوْفِهِ، كَمَثَلِ جَرَابٍ أُوْكِيَ عَلَى مِسْكٍ.
“Pelajarilah oleh kalian al-Qur-an dan bacalah, walaupun kalian tidak melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu, karena sesungguhnya perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an lalu membacanya dan melakukan shalat malam dengan bacaan al-Qur-an itu, seperti kantung yang berisi minyak misik dan semerbaknya menyebar ke seluruh tempat. Sedangkan perumpamaan orang yang mempelajari al-Qur-an dan ia tidur (tidak bangun untuk melakukan shalat malam) sedang al-Qur-an itu ada dihafalannya, seperti kantung yang ditutup dengan minyak misik.”[10]
Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, “Sesungguhnya aku ingin melakukan shalat Tahajjud karena Allah, tapi aku tidak mampu karena lemah.” Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma berkata, “Wahai anak saudaraku, tidurlah semampumu dan bertakwalah kepada Allah semampumu pula.”[11]
Sufyan rahimahullah berkata, “Seburuk-buruk keadaan seorang mukmin adalah saat ia tidur dan sebaik-baik keadaan orang yang jahat adalah saat ia tidur. Karena seorang mukmin bila ia terbangun ia selalu dalam keadaan taat kepada Allah dan itu lebih baik daripada ia tidur. Sedangkan orang yang jahat bila ia terbangun ia selalu dalam keadaan bermaksiat kepada Allah, maka tidurnya lebih baik daripada terjaganya.”[12]
TATA CARA MELAKUKAN SHALAT MALAM
Tidak ada tata cara khusus dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara melakukan shalat malam, tetapi tata cara yang ada adalah beragam, sehingga seorang muslim boleh melakukan cara yang mana saja.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam bukunya Zaadul Ma’aad[13] membuat pasal dengan judul: “Pasal tentang tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam melakukan shalat malam” Di sini ia menyebutkan tata cara yang banyak tentang shalat malam yang bersumber dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Antara lain adalah:
Pertama: Cara yang dikemukakan Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada malam hari lalu melakukan shalat dua raka’at dengan memperlama berdiri, ruku’ dan sujud. Kemudian beliau pergi lalu tidur hingga meniup-niup[14]. Kemudian beliau melakukan itu sebanyak tiga kali dengan enam raka’at. Pada tiap kalinya beliau bersiwak dan berwudhu’ dan beliau membaca,
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لأَيَاتٍ لأُوْلِي اْلأَلْبَابِ
(hingga akhir surat). Kemudian beliau melakukan shalat Witir tiga raka’at, lalu muadzin adzan dan beliau keluar untuk melakukan shalat Shubuh… (dan seterusnya hingga akhir hadits).[15]
Kedua: Cara yang disampaikan ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan mengerjakan dua raka’at yang pendek, lalu beliau menyempurnakan rutinitasnya melakukan shalat sebanyak sebelas raka’at. Pada tiap dua raka’at beliau salam dan melakukan witir satu raka’at.
Ketiga: Tiga belas raka’at seperti cara yang kedua.
Keempat: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat malam sebanyak delapan raka’at dengan salam pada tiap-tiap dua raka’at, lalu shalat Witir sebanyak lima raka’at sekaligus, tanpa duduk kecuali pada raka’at akhir.[16]
Kelima: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat sebanyak sembilan raka’at dengan melakukannya secara bersambung pada delapan raka’at tanpa duduk kecuali pada raka’at yang kedelapan, di mana di akhir raka’at ini beliau duduk untuk berdzikir kepada Allah, memuji-Nya dan berdo’a kepada-Nya, lalu beliau bangun tanpa salam dan meneruskan raka’at yang kesembilan, lalu setelah itu duduk, membaca tasyahud dan salam. Se-telah salam beliau shalat lagi dua raka’at dengan duduk.[17]
Keenam: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat tujuh raka’at seperti cara melakukan sembilan raka’at sebelumnya, (yaitu enam raka’at dilakukan secara bersambung tanpa duduk kecuali pada raka’at akhir, di mana beliau duduk untuk berdzikir, memuji Allah dan berdo’a kepada-Nya dan setelah itu bangun tanpa salam untuk melakukan raka’at yang ketujuh dan setelah itu baru beliau salam), lalu setelah salam beliau shalat dua raka’at dengan duduk.
Ketujuh: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dua raka’at-dua raka’at lalu beliau shalat Witir tiga raka’at tanpa dipisahkan di antara tiga raka’at itu dengan salam (salam setelah tiga raka’at). Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Witir tiga raka’at tanpa dipisah-kan di antara raka’at-raka’at itu.[18]
Muhammad bin Nashr al-Marwazi rahimahullah berkata: “Cara yang kami pilih bagi orang yang melakukan shalat malam adalah, melakukannya dua raka’at-dua raka’at, dengan salam pada tiap-tiap dua raka’at itu, dan terakhir ditutup dengan satu raka’at, berdasarkan hadits-hadits ini.” Perkataannya, “Ini pendapat kami” merupakan pilihan dan bukan sebuah kewajiban. Sebab telah diri-wayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat lima raka’at tanpa salam kecuali di akhirnya. Dengan demikian, maka sabda Nabi yang berbunyi, “Shalat itu dilakukan dua raka’at-dua raka’at,” adalah sebuah pilihan. Sedangkan bagi yang menginginkan melakukannya tiga raka’at, atau lima raka’at, atau tujuh raka’at, atau sembilan raka’at tanpa salam kecuali di akhirnya, maka hal itu boleh, tetapi yang baik adalah, salam pada tiap dua raka’at dan witir satu raka’at.[19]
Berdiri Dengan Lama:
Di antara tuntunan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bahwa beliau memperlama berdiri dalam shalat.
Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau memperlama berdirinya hingga aku ingin berbuat buruk.” Ia ditanya, “Apa yang kamu akan lakukan?” Ia mengatakan, “Aku ingin saja duduk dan meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[20]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih memperlama berdiri dalam melakukan shalat malam, dan Ibnu Mas’ud adalah seorang yang kuat yang selalu mengikuti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia tidak ingin duduk, kecuali setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri lama sekali yang tidak biasanya beliau dilakukan.”[21]
Berdiri dan Duduk Dalam Shalat
Ibnul Qayyim mengemukakan, bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki tiga cara:[22]
- Shalat dengan berdiri dan ini yang paling sering beliau lakukan.
- Shalat dalam keadaan duduk dan ruku’ dalam keadaan duduk pula.
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat dalam keadaan duduk dan bila bacaannya tinggal sedikit beliau bangun lalu ruku’ dalam keadaan berdiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Ketiga cara itu bersumber secara shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[23]
[Disalin dari kitab “Kaanuu Qaliilan minal Laili maa Yahja’uun” karya Muhammad bin Su’ud al-‘Uraifi diberi pengantar oleh Syaikh ‘Abdullah al-Jibrin, Edisi Indonesia Panduan Lengkap Shalat Tahajjud, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1] Lihat Haasyiyatur Raudhil Murbi’, (II/220).
[2] HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud bab Tahriidhin Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘ala Shalaatil Laili min Ghairi Iijaab, (hadits no. 1127) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin bab Maa Ruwiya fii man Naamal Laila Ajma’a hatta Ashbaha, (hadits no. 775).
[3] HR. Al-Bukhari dalam kitab al-Aadzaan bab Shalaatil Lail (hadits no. 731) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Istihbaabi Shalaatin Naafilah fii Baitihi wa Jawaa-ziha fil Masjid (hadits no. 781).
[4] Fat-hul Baarii (III/14).
[5] HR. Muslim dalam Shahiihnya dalam kitab Shalaatul Musaafiriin bab Jaami’i Shalaatil Laili wa Man Naama ‘anhu aw Maridha (hadits no. 746).
[6] Tafsiir ath-Thabari (XIV/125).
[7] HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud bab Tahriidhin Nabiy Shalalllahu ‘alaihi wa sallam ‘ala Shalaatil Laili wan Nawaafil min Ghairi Iijaab (hadits no. 1126).
[8] Fat-hul Baarii (III/14).
[9] HR. At-Tirmidzi dalam kitab Da’awaat, bab Du’aa’-un Nabiy (hadits no. 3549). Setelah menyebutkan hadits Bilal, at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini lebih shahih dari hadits Abu Idris yang periwayatannya bersumber dari Bilal.” Hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, (I/308) dan ia berkomentar, “Hadits ini shahih sesuai kriteria keshahihan yang ditetapkan al-Bukhari.” Penilaiannya disepakati oleh adz-Dzahabi. Hadits ini juga dikeluarkan oleh al-Baihaqi, (II/502). Sedangkan al-Albani dalam Irwaa-ul Ghaliil, (II/199) ia menilainya hasan.
[10] HR. At-Tirmidzi dalam kitab Fadhaa-ilil Qur-aan, bab Fadhiilati Suuratil Baqarah, (hadits no. 2876) dengan komen-tarnya, “Hadits ini hasan.” Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah dalam kitab Muqaddimah, bab Fadhli man Ta’allamal Qur-aan wa ‘Allamah (hadits no. 205).
[11] Mukhtashar Qiyamil Lail (hal. 26).
[12] Mukhtashar Qiyamil Lail (hal. 26).
[13] Zaadul Ma’aad oleh Ibnul Qayyim, (I/329).
[14] Di antara salah satu bentuk sunnah menjelang tidur, lihat rincian tata caranya pada buku-buku fiqih.-Ed.
[15] HR. Muslim (hadits no. 763).
[16] Cara ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalaatul Musaafiriin wa Qashriha, bab Shalaatil Laili wa ‘Adadu Raka’aatin Nabiy Shallallahu ‘alaihi wa sallam (hadits no. 738).
[17] Cara ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Jaami’i Shalaatil Laili wa man Naama ‘anhu aw Maridha (hadits no. 746).
[18] HR. Ahmad dalam Musnadnya (hadits no. 24697).
[19] Lihat Mukhtashar Qiyaamil Lail, (hal. 127).
[20] HR. Al-Bukhari dalam kitab at-Tahajjud, bab Thuulil Qiyaam fii Shalaatil Lail, (hadits no. 1135) dan Muslim dalam kitab Shalaatil Musaafiriin, bab Istihbaabu Tathwiilil Qiraa-ah fii Shalaatil Lail (hadits no. 773).
[21] Fat-hul Baarii (III/19).
[22] Zaadul Ma’aad Fii Hadyi Khairil ‘Ibaad oleh Ibnul Qayyim, (I/331).
[23] Komentar saya: Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pembaca yang budiman:
(a). Pahala shalat dengan duduk adalah setengah pahala shalat dengan berdiri, berdasarkan hadits ‘Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang shalat dengan duduk?” Beliau menjelaskan,
إِنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ، وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَائِمِ، وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ الْقَاعِدِ.
“Bila ia shalat dengan berdiri maka itu lebih baik, dan barangsiapa yang shalat dengan duduk maka baginya setengah pahala orang yang shalat dengan berdiri, dan barangsiapa yang shalat dengan posisi tidur maka baginya setengah pahala orang yang shalat dengan duduk.” [HR. Al-Bukhari, no. 1115].
(b). Apabila sesuatu yang menghalanginya untuk shalat berdiri adalah karena lemah, atau sakit, atau uzur yang lain, maka pahala shalatnya dengan duduk sama dengan pahala shalatnya dengan berdiri. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا.
“Bila seorang hamba sakit atau melakukan perjalanan, maka ditulis baginya pahala seperti ia dalam keadaan menetap dan sehat.” [HR. Al-Bukhari, no. 2774]
(c). Di antara keistimewaan yang dimiliki Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah, bahwa pahala yang beliau peroleh dengan shalat duduk adalah sama dengan pahala beliau shalat berdiri. ‘Abdullah bin ‘Amr berkata, “Diceritakan kepadaku, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
صَلاَةُ الرَّجُلِ قَاعِدًا نِصْفُ الصَّلاَةِ.
‘Shalat seseorang dalam keadaan duduk adalah setengah pahala shalatnya dalam keadaan berdiri.’
Lalu aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku dapati beliau tengah shalat dengan duduk, lalu aku letakkan tanganku di atas kepalanya, lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Ada apa dengan dirimu wahai ‘Abdullah bin ‘Amr?’ Aku berkata, ‘Telah disampaikan padaku bahwa engkau bersabda, ‘Shalat seseorang dalam keadaan duduk adalah setengah pahala shalatnya dalam keadaan berdiri.’ Dan kini engkau shalat dengan duduk.’ Nabi berkata,
أَجَلْ، وَلَكِنِّىْ لَسْتُ كَأَحِدٍ مِنْكُمْ.
‘Betul, tapi aku tidak sama dengan kalian.’” [HR. Muslim, no. 735]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/3498-hukum-shalat-malam-tata-cara-melakukan-shalat-malam.html